BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran adalah tingkah laku yang dipentaskan individu berkenaan dengan kedudukan atau statusnya. Peranan merupakan aspek dinamis dari status. Jika seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan status yang dimilikinya, maka ia telah menjalankan peranannya.
Pengertian keberhasilan pada konteks tulisan ini diukur dengan angka yang diperoleh siswa pada setiap mata pelajaran yang tercantum di raport siswa, atau sekurang-kurangnya angka yang diperoleh siswa dari evaluasi/ulangan dan ujian. Kurang dari angka 6 (enam) tidak berhasil, antara 6 – 7,9 mendapat predikat penilaian cukup, dan 8 (delapan) ke atas baik atau berhasil. Angka 6 (enam) pada umumnya diletakkan sebagai ”batas” atau ukuran berhasil dan tidak berhasil.
Gagal dipahami sebagai tidak berhasilnya siswa mencapai angka/nilai minimal yang menggambarkan pencapaian kompetensi tertentu sebagai standar untuk naik kelas atau lulus.
Secara gampangnya tulisan ini hendak mendeskripsikan seberapa besar peran seorang guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) dalam ikut andil mempengaruhi siswa mencapai keberhasilannya. Berhasil dan gagal (terbatas) diukur dari nilai angka siswa pada rapor, yang menentukan naik/lulus tidaknya siswa itu. Besaran peran guru dimaksud dicoba untuk dikwantifikasi (diangkakan secara numerik statistik) meski sangat sulit mencapai tingkat generalisasi konklusi yang presisi bulat utuh dan dapat dianggap mewakili peran guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) .
Dalam pengangkaan untuk mencapai besaran prosentase peran guru, diandaikan bahwa setiap guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) telah menjalankan semua peranannya. Semua komponen yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam keberhasilan siswa, seperti orangtua siswa/rumah tangga, mastarakat lingkungan, juga menjalankan perannya dengan baik. Alokasi waktu yang menjadi domain masing-masing dikwantifikasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan peranan guru?
2. Bagaimana peranan guru pendidikan ilmu sosial sebagai agen perubahan(agent of change)?
3. Bagaimana kedudukan guru PIS yang sebenarnya di kalangan pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
Untuk menjelaskan peranan guru pendidikan ilmu social sebagai agen of change atau agen perubahan
Untuk menjelaskan kedudukan guru yang sebenarnya dikalangan pendidikan.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah yang sudah di tugaskan kepada kami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peran guru
Peran guru adalah terciptanya serangkaian tingkah yang saling berkaitan yang dilakukan dalam situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya. Guru sekolah yang tugas pekerjaannya kecuali mengajar, memberikan macam- macam ilmu pengetahuan dan ketrampilan kepada anak- anak juga mendidik. Pekerjaan
sebagai guru adalah pekerjaan yang luhur dan mulia baik ditinjau dari sudut
masyarakat dan Negara ataupun ditinjau dari sudut keagamaan.
Guru sebagai pendidik adalah seseorang yang berjasa besar terhadap masyarakat dan Negara sehingga tidak salah pepatah mengatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Menurut Cleife guru adalah pemegang hak otoritas atas cabang- cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pendidikan walaupun begitu tugas guru tidak hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak para siswa tetapi melatih ketrampilan (ranah karsa) dan menanamkan sikap serta nilai (ranah rasa) kepada mereka.
Prey Katz menggambarkan peran guru sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasehat- nasehat, motivator, sebgai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta nilai- nilai, orang yang menguasai bahan yang diajarkan.
Dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa guru bukan hanya sekedar pemberi ilmu pengetahuan kepada murid- muridnya didepan kelas tetapi merupakan seorang tenaga professional yang dapat menjadikan murid mampu merencanakan menganalisa dan mengumpulkan masalah yang dihadapi.
Guru juga harus mampu melihat serta memperhatikan apakah para siswa benar- benar berminat terhadap apa yang telah diberikan/ digunakannya dalam menyampaikan pelajaran. Seorang guru juga harus bias melihat pakah minat itu benar- benar ada pada siswa saat mengikuti pelajaran yang disampaikannya untuk berhasilnya semua itu tentu sangat terkait dengan merode pembelajaran yang diterapkan oleh seorang guru dalam menyampaikan pelajaran.
B. Peranan Guru PIS Sebagai Agen Perubahan
Kalau ada penyandang profesi yang jumlahnya sangat banyak dan sebarannya sangat luas di sebuah negeri, guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) merupakan salah satu di antaranya, bahkan mungkin menempati peringkat pertama. Jumlah guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) yang sangat banyak dan sebarannya sangat luas itu dari metropolitan hingga ke titik-titik terujung pulau-pulau terpencil merupakan bukti empirik bahwa keberadaanya diperlukan oleh siapapun dan di manapun komunitas berada. Jumlah guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) yang banyak dengan sebaran sangat luas itu merupakan potensi bagi mereka untuk mendidik anak bangsa secara nyaris tanpa batas akses geografis.
Namun demikian menurut Sudarwan Danim (2006) karakteristik semacam ini pulalah yang menyebabkan mereka tidak pernah luput dari belenggu sosial, kultural, psikologis, ekonomis, politik dan sebagainya.
Di dalam masyarakat, posisi guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) sering berperan sebagai sosok perubahan sosial dan masyarakat (Agent of change), sebab peranannya sering menembus batas-batas struktur sosial yang ada. Di era orde baru peranan ini sangat menonjol karena sering menjadi lokomotif atau corong pemerintah dalam meng-aksentuasikan program-program yang menuntut untuk diskusi dan sugesti terhadap masyarakat, misalnya program KB, sadar hukum dan wajib belajar merupakan salah satu contohnya. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial antara lain karena interaksi dan pengaruh budaya barat, pertentangan dalam masyarakat dan teknologi yang tanpa batas.
Perubahan kultur yang lebih modern sering membawa implikasi sistem nilai yang lama ditinggalkan dan diganti dengan sistem nilai yang baru, ngnya sistem nilai yang baru belum menjadi ruh identitas bangsa Indonesia, sehingga dalam proses pencarian tersebut masyarakat sering mudah terombang-ambingkan oleh modernisasi. Tolok ukur nilai kehidupan manusia sudah diukur dalam kepentingan prakmatis dan hedonis. Begitu pula dengan perubahan masyarakat sekarang yang sangat maju tersebut, guru sering tidak bisa lagi mengimbanginya, guru seolah sudah ikut dalam perubahan tersebut. Guru bukan lagi agen perubah masyarakat yang berdiri di barisan depan dalam nama perubahan masyarakat seperti dulu. Tetapi sekarang guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) sebagai pengikut perubahan masyarakat yang bergerak jauh ke depan, problem inilah yang sering menyulitkan untuk menegakan profesi guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) .
Kompleksitas segala permasalahan di masyarakat membuat guru seolah gamang menempatkan posisinya. Hal ini disebabkan perhatian pemerintah terdahulu dan masyarakat sering lalai terhadap kepentingan pendidikan terutama terhadap guru.
Tidak mudah memang untuk mengatasi persoalan demikian, paling tidak alam pikiran guru harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran konvesional ke alam pikiran yang modern. Alam pikiran yang modern ditandai oleh beberapa hal, misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagi perubahan dan pembaharuan. Tekanan dalam hal ini bukan terletak pada keahlian dan kemampuan jasmaniah belaka tetapi pada suatu jiwa yang terbuka. Alam pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya saja yang bersifat langsung akan tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar itu, yaitu berfikir dengan luas. Di sinilah guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) sebagai sosok yang mempunyai habitat pendidikan mempunyai posisi yang menentukan.
Bagaimanakah memastikan bahwa guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) kita tetap up to date dalam perkembangan masyarakat modern dan perubahan sosial sehingga lebih kompeten, dengan demikian mereka dapat bekerja secara profesional, karena kita sama-sama percaya bahwa dengan profesionalisme-lah, kita dapat mengharapkan mutu dan standar yang tinggi dalam bidang pendidikan.
Lahirnya Undang-Undang nomor 14 tanggal 30 Desember 2005 tentang Guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) merupakan bentuk riel dari pengakuan pemerintah tentang profesi ini. Diharapkan lahirnnya UU ini menjadi tonggak awal bangkitnya apresiasi tinggi pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) , akan tetapi perlu didengungkan lagi paradigma guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) yang sejati di era perubahan masyarakat yang kadang bersifat mozaik tersebut, agar sosok guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) tidak mudah terombang-ambing oleh ketidakpastian ekonomi, politik, dan kepentingan yang semu dan pragmatis.
C. Posisi Guru PIS Yang Sesungguhnya Di Kalangan Pendidikan
Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi menjadi “pengkhutbah” yang terus berceramah dan menjejalkan bejibun teori kepada siswa didik. Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai “keranjang sampah” yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan holistik sebagai manusia-manusia pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, kelas perlu didesain sebagai “masyarakat mini” yang mampu memberikan gambaran bagaimana sang murid berinteraksi dengan sesamanya.
Dengan kata lain, kelas harus mampu menjadi “magnet” yang mampu menyedot minat dan perhatian siswa didik untuk terus belajar, bukan seperti penjara yang mengkrangkeng kebebasan mereka untuk berpikir, berbicara, berpendapat, mengambil inisiatif, atau berinteraksi.
Tak ada seorang pun yang bisa membantah bahwa guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) memiliki peran yang amat vital dalam proses pembelajaran di kelas. Guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) lah yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut. Dalam konteks demikian, guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) lah yang akan menjadi “aktor” penentu keberhasilan siswa didik dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan hakiki.
Ketika sang guru masuk kelas dan menutup pintu, di situlah sang guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) akan menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata siswa didiknya. Mulai model potongan rambut, busana yang dikenakan, hingga sepatu yang dipakai akan ditelanjangi habis oleh murid-muridnya. Belum lagi bagaimana gaya bicara sang guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) , caranya berjalan, atau kedisiplinannya dalam mengajar. Di mata sang murid, guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) seolah-olah diposisikan sebagai pribadi perfect yang nihil cacat dan cela. Itu juga makna yang tersirat dalam akronim “digugu lan ditiru” (dipercaya dan diteladani). Tidak heran kalau banyak kalangan yang berpendapat bahwa maraknya tindakan premanisme, korupsi, manipulasi, penyalahgunaan jabatan, pengingkaran makna sumpah pejabat, jual-beli ijazah, dan semacamnya, guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) lah yang pertama kali dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap maraknya berbagai ulah anomali sosial semacam itu.
Harus diakui tugas guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) memang berat. Mereka tidak hanya dituntut untuk melakukan aksi “lahiriah” dalam bentuk kegiatan mengajar, tetapi juga harus melakukan aksi “batiniah”, yakni mendidik; mewariskan, mengabadikan, dan menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki kepada siswa didik. Ini jelas tugas dan amanat yang amat berat ketika nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah demikian jauh merasuk dalam dimensi peradaban yang chaos dan kacau.
Ketika guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) menyatakan bahwa korupsi itu haram dan melawan hukum, tetapi apa yang dilihat oleh anak-anak dalam praktik kehidupan sehari-hari? Ya, mereka bisa dengan mudah menyaksikan dengan mata telanjang betapa nikmatnya hidup menjadi koruptor. Hukum menjadi tak berdaya untuk menjerat mereka. Bahkan, mereka bisa bebas melenggang pamer kekayaan di tengah-tengah jutaan rakyat yang menderita dan terlunta-lunta akibat kemiskinan yang menggorok lehernya. Ironisnya, tidak sedikit koruptor yang justru merasa bangga ketika mereka bisa mempermainkan hukum.
Ketika guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) mengajak anak-anak untuk melestarikan dan mencintai lingkungan hidup, apa yang mereka saksikan? Ya, para pembalak dan preman-preman hutan ternyata juga setali tiga uang. Hukum seolah-olah telah lumpuh dan tak sanggup menjamah mereka. Jelas-jelas sebuah kondisi yang amat bertentangan secara diametral. Nilai-nilai luhur hakiki yang disemaikan di sekolah benar-benar harus berhadapan dengan berbagai “penyakit sosial” yang telah bersimaharajalela di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Kalau proses pembelajaran berlangsung monoton dan seadanya; guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) cenderung bergaya indoktrinatif dan dogmatis seperti orang berkhotbah, upaya penyemaian nilai-nilai luhur hakiki kira akan sulit berlangsung dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Apalagi, kalau anak-anak hanya diperlakukan sebagai objek yang pasif, tidak diajak untuk berdialog dan berinteraksi. Maka, kegagalan penyemaian nilai-nilai luhur kepada siswa didik hanya tinggal menunggu waktu. Dalam konteks demikian, guru perlu mengambil langkah dan inisiatif untuk mendesain proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Guru memiliki kebebasan untuk melakukannya di kelas. KTSP sangat leluasa memberikan kesempatan kepada guru untuk menerapkan berbagai gaya dan kreativitasnya dalam kegiatan pembelajaran.
Melalui kegiatan pembelajaran yang inovatif, atmosfer kelas tidak terpasung dalam suasana yang kaku dan monoton. Para siswa didik perlu lebih banyak diajak untuk berdiskusi, berinteraksi, dan berdialog sehingga mereka mampu mengkonstruksi konsep dan kaidah-kaidah keilmuan sendiri, bukan dengan cara dicekoki atau diceramahi. Para murid juga perlu dibiasakan untuk berbeda pendapat sehingga mereka menjadi sosok yang cerdas dan kritis. Tentu saja, secara demokratis, tanpa melupakan kaidah-kaidah keilmuan, sang guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) perlu memberikan penguatan-penguatan sehingga tidak terjadi salah konsep yang akan berbenturan dengan nilai-nilai kebenaran itu sendiri.
Melalui suasana pembelajaran yang kondusif dengan memberikan kesempatan kepada siswa didik untuk bebas berpendapat dan bercurah pikir, guru akan lebih mudah dalam menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki. Dengan cara demikian, peran guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) sebagai agen perubahan diharapkan bisa terimplementasikan dengan baik. Meskipun korupsi, manipulasi, dan berbagai jenis “penyakit sosial” menyebar dan meruyak di tengah-tengah kehidupan masyarakat, melalui proses rekonstruksi konsep yang dibangunnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa:
1. Peran Guru bukan hanya sekedar pemberi ilmu pengetahuan kepada murid- muridnya didepan kelas tetapi merupakan seorang tenaga professional yang dapat menjadikan murid mampu merencanakan menganalisa dan mengumpulkan masalah yang dihadapi.
2. Posisi guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) berperan sebagai sosok perubahan sosial dan masyarakat (Agent of change), sebab peranannya sering menembus batas-batas struktur sosial yang ada. Peranan ini sangat menonjol karena sering menjadi lokomotif atau corong pemerintah dalam mengaksentuasikan program-program yang menuntut untuk diskusi dan sugesti terhadap masyarakat. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial antara lain karena interaksi dan pengaruh budaya barat, pertentangan dalam masyarakat dan teknologi yang tanpa batas.
3. Guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut. Dalam konteks demikian, guru Pendidikan Ilmu Sosial(PIS) lah yang akan menjadi “aktor” penentu keberhasilan siswa didik dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan hakiki. Dalam hal ini tugas siswa ialah mampu menghidupkan suasana kelas tanpa selalu dicekoki dari guru-guru atau pembimbing.
B. Saran
Anak-anak bangsa negeri ini mudah-mudahan memiliki benteng moral yang tangguh dalam gendang nuraninya sehingga pantang untuk melakukan tindakan culas yang merugikan bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
WIKIPEDIA.COM
GOOGLE.COM
http://Layla-innocent.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar