Kamis, 14 Juni 2012

MAKALAH KRIMINALITAS (DEGRADASI MORAL)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebuah Negara paradox, yang kaya raya dengan sumber alam melimpah tetapi miskin secara faktual. Negara ini sarat dengan ironi, anomali dan keanehan. Kaya tapi miskin. Penduduknya dikenal ramah tetapi aksi kekerasan terjadi di berbagai tempat. Negara menganut sistem demokrasi yang memungkinkan muncul aksi demo disejumlah penjuru Nusantara tetapi anarkisme juga marak dimana-mana. Ulama dan Umaro (Pemuka agama dan Pemerintah) taat beribadah ritual seremonial tetapi fenomena menghalalkan segala cara menjadi lumrah.. Negara berdasarkan hokum tetapi kejahatan dan kriminalitas malah tumbuh subur. Etika, moral dan nilai-nilai sosial yang tersemai di masyarakat mengkategorikan perbuatan mengambil barang milik orang lain hal tercela, namun pencurian justru merajalela. Sederetan fenomena paradox ini sudah kronis, menyebar ibarat penyakit menular,dan mengakar kuat menjadi problematika sosial bangsa. Pembumian nilai-nilai etika dan moral bangsa semakin memudar dan redup. Padahal mayoritas beragama dan yang terbesar Muslim. Ajaran Islam mengajarkan agar mencontoh akhlak Rasulullah.
Kenapa sampai fenomena seperti diatas terjadi? Siapa mesti bertanggungjawab? Bagaimana mengatasi kerunyaman ini? Kegelisahan dan kagalauan melalui berbagai pertanyaan itu menyeruak. Wajar dipertanyakan. Kiranya kita perlu melihat persoalan secara sistematik. Kemunculan persoalan kriminalitas yang demikian parah paling tidak dapat ditelaah dan diteropong dari tiga perspektif.

B. Rumusan masalah
1. Apa penyebab timbulnya kriminalitas?
2. Mengapa hukum tidak membuat para pelaku kriminalitas merasa jera?

C. Metodelogi penulisan
Makalah ini ditulis berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di kalangan masyarakat, umumnya tentang kejadian yang berhubungan dengan kriminalitas yang terjadi belakangan di negara Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor penyebab timbulnya kriminalitas
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kriminalitas diantaranya:
1. Pemahaman keagamaan.
Kita menyaksikan perbuatan tidak bermoral dan kriminalitas banyak dilakukan oleh warga yang beragama Islam. Ajaran agama tampaknya hanya bernilai ritual formalitas tidak diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari berupa interaksi sosial yang mencerminkan akhlak mulia Padahal ajaran kasih sayang diajarkan oleh agama Islam bahkan diutusnya Nabi Muhammad semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia (al Hadist). Umat beragama di Indonesia Seperti diungkap oleh Dimyati (2011), pakar pendidikan bahwa mayoritas umat beragama di Indonesia ternyata tidak "mengaggama" sehingga manfaat agama menjadi tidak bermakna di bumi persada ini
2. Perspektif pendidikan
Disadari atau tidak kegiatan dan proses pendidikan kita di kancah praksis hanya terpaku pada pencapaian tujuan pengoptimalan otak sementara pendayagunaan fungsi hati nurani hampir-hampir diabaikan. Hal ini berarti pendidikan budi pekerti dan akhlak yang terdapat dalam sistem persekolahan dan diruang -ruang publik kurang dimasyarakatkan. Akibatnya, siswa yang dianggap teladan di kelas adalah siswa yang berhasil mencapai peringkat akadewmik tertinggi di kelas. Manusia pintar adalah mereka yang berhasil menjuarai lomba ilmiah, matematika, fisika dan sejenisnya. Hal ini menunjukkan otak yang utama. Sedangkan hati sebagai landasan budi pekerti sekedar pelengkap. Kesuksesan hidup bagi banyak orang di negeri ini dipandang tatkala orang itu kaya dan pintar, akan tetapi bagaimana cara-cara mendapatkan kekayaan dan kepintaran tidak terlalu dirisaukan.
Guru yang terkait dengan penanaman nilai-nilai moral dan budi pekerti di sekolah, ternyata juga tidak dididik untuk menomorsatukan olah hati sebagai dasar awal berpijak dalam melakukan kegiatan. Kita jumpai aktivitas di sudut ruang kelas minim contoh teladan yang berakhlak mulia. Padahal jika kita simak dalam teori pembelajaran sosial (Albert Bandura 1977) diungkap bahwa untuk merubah perilaku komunitas diperlukan contoh dan teladan para pemangku kepentingan termasuk para guru di sekolah. Sementara itu pendidikan informal dirumah antara orang tua dan anak nyaris tak terkawal dengan mutu keteladanan. Pendidikan dalam keluarga dalam sistem pendidikan Nasional belum terperhatikan sebagaimana mestinya, sehingga tidak diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003.
3. Dari sisi penegakan hukum.
Berbagai peristiwa hukum di negara ini kerapkali membuat kita mengurut dada dan menggeleng-gelengkan kepala. Betapa tidak? Mafia terjadi dimana-mana, mencuatkan berbagai istilah mafia pajak, mafia hukum, jual beli hukum, tebang pilih, tajam keatas tumpul kebawah, diskriminasi hukum, mentalitas bobrok. Rentetan persoalann terjadi tak kunjung usai.
Ternyata terpidana koruptor di penjara tidak membuat jera bahkan dengan (maaf) mengangkangi hokum maka rumah penjara seolah rumah pribadi. Penjaga lapas atau rumah tahanan seakan (dianggap) pelayan mereka yang siap memberikan fasilitas mewah dan pelayanan optimal kepada "sang juragan" hingga dapat menikmati kesempatan berjalan-jalan menghirup udara segar diluar penjara. Hal ini bisa terjadi karena ada "perkawinan" antara mental brengsek koruptor dan mental bobrok aparat, Koruptor boleh saja di bui tetapi kekayaan koruptor tidak disita semuanya, alhasil mereka tetap kaya raya. Kerap kita dengar narapidana bebas mengendalikan bisnis, usaha dan organisasinya dari balik jeruji besi. Penjara menjadi kantor mereka. Bagaimana ini bisa terjadi?.
KUHP akhirnya diplesetkan secara satire sebagai singkatan Kasih Uang Habis Perkara. Suap menyuap bukan sesuatu hal rahasia lagi di Negara hukum. Pencurian di Negara ini memegang rekor tertinggi, mungkin jika diundang MURI (Museum Rekor Indonesia) maka Negara ini akan dinobatkan Negara "religious" dengan tingkat kemalingan tertinggi di dunia. Mulai dari malng ayam hingga maling kelas kakap para koruptor pajak.
Data kasus pencurian kendaraan bermotor misalnya diberitakan di salah satu media massa bahwa tahun lalu dalam seminggu terjadi 179 pencurian kendaraan bermotor di Jakarta. Itu berarti setiap harinya puluhan sepeda motor dan mobil lenyap dicuri orang.

B. Penyebab para pelaku kriminalitas tidak takut hukum
Hukum tak membuat penjahat kapok, jauh dari keinsyafan, bahkan mereka pun mengulang lagi perbuatannya disamping juga menurunkan "ilmunya" ke generasi berikut. Fenomena sosial yang berkembang di luar penjara membuat pelaku kejahatan pemula menjadi residivis (penjahat kambuhan)
Di negeri ini terlalu banyak aktivis bicara HAM tetapi saat terbukti bahwa pornografi dan pornoaksi nyata-nyata merusak moral bangsa, sehingga harus diberantas, mereka berkelit dengan menyalahkan aparat dan pelaku amoral tersebut.. Mereka mengafikan dampak dari pornografi/aksi itu pada korban yang banyak berjatuhan. Kerap diberitakan di media massa atas perilaku remaja bahkan bocah yang melakukan pemerkosaan akibat pengaruh dari pornografi yang dilihatnya. Bagi penentang UU APP tersebut kebebasan berekspresi diatas segalanya.
Nasehat paling mudah yang sering dilontarkan orang untuk mengatasi persoalan sosial adalah memulai dari diri kita sendiri untuk membenahi karut marut persoalan sosial ini, namun langkah-langkah spektakuler mesti dilakukan pemerintah yang dimanahkan rakyat untuk memerintah-bukan menghimbau atau sekedar mengungkapkan rasa prihatin- jikalau ingin sesegera mungkin memberantas kriminalitas.




C. Cara mengatasi tindakan kriminal
Dari uraian di atas kiranya perlu ada sebuah formula untuk menanggulangi terjadinya tindak kriminalitas. Secara konsepsial usaha pembinaan terhadap pelaku kejahatan adalah dengan memasukan unsur-unsur yang yang terkait dengan mekanisme peradilan pidana dan partisi masyarakat, antara lain;
1. Peningkatan dan pemantapan aparat penegak hukum yaitu meliputi pemantapan organisasi, personal, sarana, prasarana, untuk dapat mempercepat penyelesaian perkara-perkara pidana.
2. Perundang-undangan berfungsi untuk menganalisis dan menekan kejahatan dengan mempertimbangkan masa depan.
3. Mekanisme peradilan yang efektif (memenuhi sifat-sifat: cepat, tepat, murah, dan sederhana).
4. Koordinasi antara aparatur penegak hukum dan aparatur pemerintah lainnya yang saling berhubungan dan saling mengisi untuk meningkatkan daya guna penanggulangan kriminalitas.
5. Partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran pelaksanaan penanggulangan kriminalitas.
Disamping upaya-upaya tersebut diatas, yang terpenting adalah upaya yang bersifat preventif atau pencegahan, yaitu dengan jalan menyadarkan atau menekan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan kejahatan. Disinilah peran moral dan agama untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar. Salah satu contoh kecenderungan manusia untuk melakukan pencurian dan perampokan di beberapa tempat.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ada 3 penyebab timbulnya kriminalitas yaitu:
1. Pemahaman keagamaan
2. Perspektif pendidikan
3. Dari sisi penegakan hukum
Alasan para pelaku tindak kriminalitas tidak merasa jera terhadap hukum yang berlaku yaitu karena kebanyakan pelaku kriminalitas itu sendiri ialah orang berpengaruh di negara ini, sehingga tidak tercipta keadilan. Ketika uang sudah berbicara maka hukumpun takut dalam penegakannya.
Hukum ibarat pisau yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Dan itulah hukum yang berlaku di negara Indonesia.
Secara konsepsial usaha pembinaan terhadap pelaku kejahatan adalah dengan memasukan unsur-unsur yang yang terkait dengan mekanisme peradilan pidana dan partisi masyarakat, antara lain;
1. Peningkatan dan pemantapan aparat penegak hukum
2. Perundang-undangan
3. Mekanisme peradilan yang efektif
4. Koordinasi antara aparatur penegak hukum dan aparatur pemerintah lainnya
5. Partisipasi masyarakat



DAFTAR PUSTAKA

Soemitro. 1989. Krimonologi. Surakarta : Sebelas Maret University Press
Turkus. 1951. New York : Murder Inc
Bahan perkuliahan dari Bapak sabar Slamet
www. Google.com
www. Wikipedia.com
http://layla-innocent.blogspot.com

Tidak ada komentar: